Strategi Politik Ketahanan Pangan Dan Masa Depan Pertanian Indonesia

Sukmadji Indro Tjahjono
Kegiatan Focus Group Discussion yang bertema "Membedah Politik Pangan dan Pertanian Indonesia", diselenggarakan beberapa waktu lalu bertempat di Cafe Banksaku Jakarta Pusat.  Forum diskusi yang digagas oleh beberapa pakar pertanian dan para praktisi ini berlangsung menarik karena memuat strategi politik ketahanan pangan dan pertanian Indonesia di masa depan. 
Pakar di bidang masalah pertanian dan perhutanan yang saat ini menjabat sebagai Koordinator  Jaringan Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia dan namanya juga sempat santer diisukan menjadi salah satu kandidat calon Menteri di Kabinet Kerja Jokowi, Sukmadji Indro Tjahyono mengatakan 'Dalam mewujudkan ketahanan pangan yang kuat, pada era pemerintahan Jokowi periode kedua, pembangunan sumber daya manusia petani  harus dijadikan fokusnya". Indro menambahkan bahwa kini  saatnya tidak lagi mengecam mafia pangan, impor pangan, atau kemunduran pertanian. "Semua itu tidak akan terjadi jika para petani melek situasi pangan dan pertanian yang sesungguhnya. Oleh karena itu tidak bisa ditawar-tawar lagi untuk melahirkan petani-petani yang cerdas, ujarnya.
Panel diskusi tersebut juga menghadirkan pemikir pangan dan pertanian kawakan antara  lain  Ir. Ali Wongso (Ketum SOKSI), Dr. Ben Perkasa Drajat (Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kawasan Amerika dan Eropa Kemenlu RI), Dicky Iskandar (Analis Agribisnis), Cokro Wibowo Sumarsono (Ketum Gerakan Pemuda Desa Mandiri), Sutajaya (Organiser Petani Hutan Gunung Malabar) dengan moderator Hikmat Subiadinata (Komunitas Kopi Nusantara).
Dalam kesempatan itu Ir Ali Wongso menekankan "Bagi Jokowi ini adalah periode pemerintahannya yang kedua dan terakhir. Untuk itu  Jokowi  harus memiliki keberanian moral atau moral courage dalam membangun fundamen pangan dan pertanian yang sebenar-benarnya". Sejalan dengan hal itu, Ben Perkasa menambahkan bahwa konsep subsidi harus sudah mantab dan tidak lagi setengah-setengah  dilaksanakan seperti bagaimana Jepang memperlakukan petaninya.
Di samping itu, Cokro Wibowo memandang kita perlu mencanangkan era kebangkitan petani Indonesia bersamaan dengan  era industri 4.0. "Caranya adalah dengan melakukan inovasi dan moderenisasi pertanian. Hal itu ditempuh dengan mengembangkan desa-desa model yang sebelumnya sukses dalam membudidayakan komoditas tertentu seperti kentang,  mangga, buah naga, pisang, atau kacang mete", katanya. Menyambung isu tersebut, Dicky Iskandar mempertanyakan : " Bagaimana pertanian akan bangkit jika kualitas PPL kita masih menjadi tukang foto dan tukang catat? PPL ke depan harus mampu memberdayakan dan mencerdaskan petani"
Diskusi yang juga dihadiri oleh relawan Komunitas Alumni Perguruan Tinggi itu menyimpulkan bahwa Indonesia harus fokus pada isu pangan sebagai downsteam dari sektor pertanian. Kalau bekutat pada isu pangan esensial seperti padi dan jagung membuat kita jenuh. Padahal spektrum komoditas Indonesia meliputi pangan non esensial yakni rempah-rempah yang pada masa kolonial menjadi primadona pada tataran global. Jika ekspor dan  nilai tambah pangan non esensial ini kita genjot,  defisit neraca perdagangan kitac tidak akan mengalami defisit.
Menanggapi hal itu, Indro Tjahyono yang telah menyerahkan konsep Badan Pangan Nasional (BPN) dan berdiskusi langsung dengan Presiden Jokowi tentang kebijakan pangan, kuncinya adalah bagaimana kita segera membentuk otoritas pangan nasional seperti dituntut oleh Undang-undang pangan no 18 tahun 2012. Deadline pendirian BPN ini sebenarnya adalah tanggal 17 November 2015.

Kunci untuk mewujudkan ketahanan pangan yang tangguh adalah menjadikan petani  sebagai aktor utamanya. Dalam kaitan itu, kita  harus mampu melahirkan petani-petani cerdas atau smart farmers. Demikian kesimpulan Diskusi Panel tersebut. (SM)