Pilkada DKI, Inkonsistensi Ahok Menuai Badai

Beberapa hari yang lalu warga heboh mendengar berita dari sang fenomenal Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau akrab dipanggil Ahok ketika mengumumkan keputusannya untuk maju mengikuti kontestasi Pilgub DKI melalui jalur parpol. Sebenarnya wajar saja terjadi dan bukan hal yang luar biasa apabila di setiap daerah pemilihan yang akan melaksanakan pilkada ada beberapa atau seorang kandidat maju mencalonkan diri melalui jalur partai politik. Menjadi heboh ketika seorang Ahok yang sebelumnya sempat membuat fenomena dengan gerakan simpatik "Teman Ahok"nya akan maju bertarung melalui jalur independen/perseorangan walaupun dia seorang petahana yang secara logika politik akan mudah mendapat dukungan dari partai politik. Semua orang saat itu terperangah dengan aksi idealis Ahok yang menyatakan dengan tegas akan maju melalui jalur non parpol. Dilatarbelakangi oleh ketidak harmonisan hubungannya dengan parlemen akibat beberapa kasus penyalahgunaan APBD yang menjerat beberapa anggota DPRD pada waktu itu, keputusan Ahok dianggap tepat oleh mayoritas masyarakat Jakarta dan dia dianggap sebagai tokoh bersih anti korupsi. Atas dasar itulah maka warga Jakarta yang senang akan tindak tanduknya, berinisiatif mengumpulkan KTP sebagai bentuk dukungan moril kepada Ahok untuk melawan korupsi.
Awalnya adalah gerakan swadaya masyarakat bernama Teman Ahok yang melihat momen ini sebagai sebuah bentuk dukungan politik kepada Ahok untuk mencalonkan diri menjadi cagub dari jalur non parpol. Dengan cara membuka gerai-gerai di pusat keramaian, Teman Ahok mulai mengumpulkan KTP warga Jakarta sebagai syarat maju menjadi cagub Jakarta periode 2017 -2022. Warga Jakarta berbondong-bondong datang ke mal dan pusat perbelanjaan dengan sukarela memberikan KTP sebagai bentuk dukungan kepada Ahok. Perlawanan seorang diri Ahok kepada beberapa oknum anggota parlemen dianggap sebagai suatu fenomena di saat kasus-kasus korupsi menggurita di setiap elemen kehidupan tanpa ada yang bisa mencegah. Pada saat itu sosok Ahok menjadi simbol perlawanan masyarakat terhadap kebijakan yang dianggap berseberangan dengan masyarakat dan hanya mementingkan suatu golongan tertentu saja.
Partai politik dan beberapa pengamat politik di Indonesia melihat fenomena ini sebagai ancaman Deparpolisasi, dimana tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik sebagai tempat untuk menyalurkan aspirasi politik sudah sangat rendah. Selain sebagai tempat untuk menyalurkan aspirasi politik, marwah parpol juga sebagai sarana untuk berdemokrasi yang sehat dan benar. Di beberapa daerah yang akan melaksanakan pilkada serentak 2017 nanti juga banyak calon kepala daerah yang berinisiatif akan maju melalui jalur independen bahkan untuk seorang petahana sekalipun. Efek yang timbul dari deparpolisasi ini akan membuat kehidupan berpolitik bangsa dan negara menjadi tidak sehat.
Kembali kepada pernyataan Ahok beberapa hari lalu yang sempat menggemparkan ranah politik di tanah air. Kemungkinan inkonsistensi sikap politik Ahok ini dipicu oleh beberapa hal antara lain adalah :

- Ketakutan Ahok maupun timnya ketika melihat fakta bahwa akan sulitnya memenangkan pertarungan   
   dengan calon dari parpol yang sudah memiliki akar rumput jaringan yang kuat.
- Ketidakyakinan terhadap KTP warga yang dikumpulkan secara legal atau ilegal, sehingga dapat 
   menimbulkan resistensi syarat administrasi yang akan diverifikasi oleh penyelenggara pemilu.
- Adanya godaan yang sulit ditolak dari partai politik besar seperti Golkar yang sudah terang-terangan   
  menyatakan dukungannya terhadap pencalonan Ahok, padahal sebelumnya Nasdem dan Hanura sudah   
  lebih dulu menyatakan dukungannya.

Efek negatif yang ditimbulkan dari ketidakpastian sikap tersebut selain dirasakan oleh para warga yang kecewa karena sudah mendukung dengan sukarela, juga sangat dirasakan oleh Teman Ahok pastinya. Walaupun Ahok dan kroni parpolnya akan tetap memakai Teman Ahok sebagai mitra dalam proses pemenangannya nanti. 
Ahok sedang menuai badai untuk dirinya sendiri. Selain karena sikapnya yang tidak konsisten dengan pencalonan dirinya, saat ini beberapa masalah admininistrasi pengadaan lahan rawan bersinggungan dengan KPK.  Ya! walaupun tingkat elektabilitas di beberapa hasil survei saat ini menyatakan dirinya paling unggul diantara para rival lainnya, akan tetapi hari H pilkada masih lumayan lama. Ada beberapa hal yang akan menyebabkan tergerusnya dukungan warga terhadap Ahok akibat inkonsistensi sikap politik, diantaranya adalah :

1. Warga yang mulai merasa dipermainkan oleh sikap politik Ahok. Hari ini A, lain hari B.
2. Adanya  kekhawatiran warga terhadap janji-janji yang diucapkan sebelumnya apakah akan    
    dilaksanakannya ketika ia telah menjadi Gubernur kembali.
3. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap parpol masih rendah, Sebelumnya Ahok dianggap         pejuang yang mewakili aspirasi warga Jakarta tetapi sekarang malah berkoalisi. 
4. Ahok merasa dirinya tidak ber-ambisi untuk mempertahankan jabatannya, tetapi setelah ini    
    warga akan menilai bahwa Ahok sebagai sosok yang ambisius yang akan menghalalkan 
    segala cara untuk mempertahankan jabatannya.

Bagi lawan politik, hal yang dilakukan Ahok menimbulkan benefit tersendiri. Isu-isu liar dan berkembang di tengah masyarakat akan diolah sedemikian rupa oleh timses mereka sehingga akan menurunkan tingkat kepercayaan dan elektabilitasnya. Hal yang demikian akan menjadi badai yang merugikan Ahok dan timnya dalam mengarungi kontestasi pemilihan gubernur nantinya .